Oleh:
Dias
“A’, pesan nasi magelangan dua, es
tehnya satu dan cappucino cincau latte-nya
satu”, pinta gadis yang baru saja datang kepada pelayan di sebuah café
komplikasi dengan salah satu menu uniknya, ‘Warung Burjo-an’. Gadis yang bernama Ruri itu mencari tempat lesehan.
“Di situ aja,
Ri.. Nomor 001 seperti kesukaanku”, ucap Meili, teman Ruri, sambil mengangkat
jari telunjuknya ke situs meja 001.
Mereka berdua membuka tas masing-masing
dan mengambil laptop. Tak berapa lama setelah mencomot WIFI gratis dari café,
kedua gadis manis itu tersenyum di depan layar laptopnya dan sesekali tertawa. Meili meraih gelas capcin
latte-nya yang sudah datang dari tadi. Diteguknya sampai isi gelas hanya
separuhnya.
“Astagfirullah…
Mei, kamu tadi minumnya baca basmalah dulu
tidak?”
“Ada apa toh?”
Tanya Meili dengan mengernyitkan kedua alisnya.
“Apa tidak
sadar, kalau isi gelasmu tinggal separuh?”
“Oh, ini… Aku
sadar kok. Emm… iya sih tadi saya lupa baca doa, hehe… Allāhumma bārik lanā fī mā rozaqtanā waqinā adzābannār, āmīn..”
“Nah gitu
dong, itu baru namanya orang Islam. Oke, sekarang kita santap nasi magelangannya
dulu…!” Pimpin
Ruri seperti komandan perang yang memberikan aba-aba kepada pasukannya.
Seusai makan, mata kedua gadis parang
itu membalik laptopnya masing-masing. Sesekali mereka merengangkan tubuhnya
yang mulai terasa pegal. Meili melirik layar laptop Ruri yang sedari tadi masih
senyum-senyum sendiri. Ruri masih asyik dengan chatting-nya, sementara temannya yang berkerudung hijau itu sedang
merasa jenuh dengan mulut dimoncongkan ke kiri-kanan. Melihat tingkah temannya
yang aneh, Ruri melirik Meili dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa?” Tanya gadis berbatik mega
mendung berwarna coklat dan berkerudung coklat, sembari senyum meledek. “Lā adriy… tiba-tiba saja merasa bosan. Tiap
hari kerjaanku hampir nge-net terus kalau dipiki-pikir”, jelas Meili datar. “Ya
sudah, tidak usah dipikir dong…” ujar Ruri dengan nada meledek. “Ah, kamu mah
malah ngeledekk”, tandas Meili dengan menghela nafas.
“Aku bosan banget nih, hampir tiap menit
eksis di dunia maya, Fb, twittter atau media sosial lainnya. Aku tuh pengen
banget punya karya biar jadi terkenal. Semua orang akan mengenalku karena
karyaku yang banyak dibaca orang. Aku pengen—Yah! Intinya sudah bosan dengan
hidupku selama ini!” Ujar Meili
panjang lebar mencurahkan isi hatinya.
Ruri menghela
nafas pelan. Hembusan angin menerpa batik Cirebon yang
dikenakannya. “Itu sih gampang. Aku punya sebuah situs website buat kamu yang
lagi galau”. Meili meletakkan laptopnya, sementara Ruri meletakkan laptopnya di
atas meja kecil.
“Kamu kan suka online tuh, yah so pasti
kamu tidak akan cepat puas dengan yang satu ini. Situs dompetpahala.com. Situs ini paling sering dikunjungi oleh para
pemuda”.
“Terus..terus…
ada apa saja di dalamnya? Aku bakalan dapat fasilitas apa saja nanti dari situs
itu?” Dengan tiba-tiba Meili menyerobot dengan penuh rasa penasaran.
“Fasilitas?!
Memangnya seminar kalii…” Ujar Ruri dengan melebarkan mulutnya.
“Assalamu’alaikum…”
Seorang
laki-laki datang di hadapan mereka. “Lagi pada ngapain nih? Nampaknya ada
diskusi asyik nih malam ini... Apaan tuh?”
“Wa’alaikumussalaam…”
Kedua gadis membalas salam. “Ih, kamu kepo banget sih, Din?!!”
“Lah kenapa? Ini kan Negara demokrasi,
jadi aku boleh dong ikut-ikutan diskusi dengan kalian?” Tegas Ahmad Burhanudin
yang disapa akrab Udin. “Lagian ini café bukan milik nenek moyangmu”.
“Ih, apa-apaan sih maksudmu. Gak
nyambung juga deh ikutan diskusi dengan demokrasi”, kecap Ruri menyolot.
“Hehe… Afwan, cuma ber-kidding. Kalian lagi bahas apa sih
sampai-sampai ngundang saya ke sini?”
“Kamu tuh gak jelas banget dweehh, Din…”
ujar Ruri dengan menggoyangkan kepala ke atas-ke bawah, lalu memoncongkan
bibirnya.
“Bismillah, begini loh ceritanya. Si
Meili lagi galau, dia pengen berkarya lewat tulisan dan lainnya, biar terkenal
gitu. Terus aku tunjukkan situs dompetpahala.com”.
“Ah bener sekali itu! Saya tahu banyak tentang situsnya. Situs dompetpahala.com punya banyak rubrik,
seperti artikel, fiksi, dan video”, jelas panjang lebar Si Adin kepada Meili. Adin
menyeruput kopi hitamnya seraya meminum jus stroberi yang nikmat.
“Waah bagus banget tuh... Terus rubrik-rubrik
itu penjelasannya bagaimana? Apa aku bisa manfaatin semuanya ?” Tanya
Meili menyerbu Adin seperti sedang sedang dikejar-kejar oleh musuhnya. Adin
spontan terdiam dan menatapi wajah Meili, entah kenapa seperti ada yang
berdesir di dalam hatinya.
“Ehm… ada yang cinlok nih di café
kayaknya”. Ruri berdehem. Adin tergentak dari lamunannnya dan bertingkah salting. Tapi, sesegera mungkin Adin
menguasai dirinya dan menyambung lidah Meili.
“Lanjut ya. Jadi, rubrik artikel itu
untuk para pemuda yang mau berbagi infomasi lewat artikelnya dan ia pun dapat
menikmati artikel lainnya yang ia butuhkan. Kalau fiksi isinya cerpen, cerbung,
novel, atau puisi dengan fungsi sama dengan artikel, pengunjung dapat membaca
dan meng-upload karya fiksinyanya. Nah,
buat nambah kalian eksis, di situs itu ada rubrik video yang digunakan untuk
mengunggah karya rekaman video kita. Siapa tahu ada yang mau nonton dan bisa
terinspirasi melihatnya“, jelas Adin dengan muka penuh ekspresi yang ditutup
dengan senyuman.
Meili meraih
gelasnya dan ternyata isinya telah habis. Lalu, tangan kirinya
menjulur ke arah gelas miliki Ruri. Tanpa pamit, Meili meneguk es tehnya.
“Astaghfirullah, Meili… itu kan milikku.
Kenapa kau sikat juga? Gak sopan sih, kamu. Kalau kamu permisi kan, ‘mungkin’
aku akan memberimu izin”, rengek Ruri dengan tatapan tajam pada Meili. Muka
Meili seketika tunduk, “Afwan, ya ukhtiy… Aku minta maaf dan minta es tehmu
ya…”
“Sudahlah, begitu saja kok ribut. Malu
dong kalau dilihat teman-teman cowok”, ujar Adin bergaya seperti Da’i. “Oh ya,
kenapa kalian tidak pergi ke lapangan? Bukankah ini malam tahun baru ya?”
“Oh ya? Malam ini malam tahun baru?
Bagaimana saya bisa lupa ya?” ucap Ruri yang kali ini bersikap aneh.
“Tapi begini, saya mendengar perkataan
dosen saya ketika mata kuliah Ibadah dan Akhlak. Dalam suatu hadits, Rasulullah
SAW bersabda: ‘Siapa saja yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (dari agama
tertentu), maka ia termasuk ke dalam bagian dari mereka’. Artinya, perayaan
tahun baru masehi ini tergolong ke dalam perbuatan yang hukumnya haram karena
mengikuti ajaran agama lain.” Lagi-lagi Adin berceramah di depan kedua gadis
yang tampaknya terlihat sudah lelah.
“Iya, ustadz. Kami setuju itu. Tapi ada
juga ulama yang mengatakan kalau ihwal ini tergantung daripada niatnya”, ceplos
Meili.
“Contoh…?” Tanya Ruri yang di dalam
hatinya mengiyakan pernyataan tersebut.
“Kalau memanfaatkan event malam tahun
baru untuk berkunjung ke panti asuhan, memberi makan fakir miskin, membersihkan
lingkungan itu termasuk perbuatan yang positif….”, jelas Meili dengan penuh
senyuman dan ujung matanya melirik sosok laki-laki berkemeja kotak-kotak putih,
“dan…apa yang sedang kita lakukan sekarang ini—berdiskusi—juga insya Allah
termasuk ke dalam hal yang positif”.
“Enggih, Ustadzah…” ceriwis cewek yang
sedari tadi memandang Meili semakin bertingkah beda setelah kedatangan cowok
Madura itu. “Sepertinya kalian cocok deh kalau jadian, eh maksud saya…bersatu
dalam akad nikah. Hehe…”
“Hush…sembarang aja kamu keluarkan
kata-kata”, ucap Meili dengan nada tegas. Lalu tersenyum malu dengan Adin.
“Ah, ada yang terlewat. Satu lagi dari
Mayora… yang tak kalah penting yaitu ada latihan tahsin dan tilawah al-Qur’an. Apalagi,
dulu kamu kan pernah minta saya untuk ngajarin kamu tahsin, tapi saya tak bisa
dan tak sempat. Banyak proyek, hehe…”
“Wah bagus banget. Boleh juga tuh, Din,
buat aku belajar tahsin”, Meili mengiyakan. Bibirnya melebar ke kanan-kiri
memperlihatkan gigi bagian atasnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Trus,
bagaimana caranya aku bisa gabung”, tanya Meili penasaran.
“Gampang kok,
Mei. Kau buka situsnya, lalu tulis biodatamu dan kasihin ke Adin. Pasti Adin
menerimanya”. Ruri menyambung sembari tertawa. Mendengar perkataan itu, Meili
hanya tersenyum menundukkan kepala. Ruri mengacungkan jari telunjuk dan
tengahnya sehingga membentuk huruf V ke arah Meili dan Adin. Ujung mata gadis
berkerudung hijau asli Jawa Barat itu menangkap batang hidung cowok berbadan
tegap di hadapannya.
“Pret…Pret…Pret…”
“Toreet-toreet….pret….pret….”
Bunyi serunya
terompet dari arah lapangan semakin keras. Waktu menunjukkan pukul 24.01 WIB. Awal
tahun baru telah dimulai.
“Alhamdulillah… Tahun
baru telah tiba. Semangat baru harus dimulai juga”, ujar Adin. “Mari kita berdoa untuk kesuksesan kita di masa depan”,
lanjutnya.
Semuanya menundukkan
kepala dan mengangkat kedua tangan dengan telapak terbuka. Mereka berdoa dengan
khusyu’.
“Alfaatihah…” sambung
Adin mengakhiri doa.
“Tahun baru masehi
boleh meriah, tapi tahun baru hijriah wajib meriah. Adanya tahun baru membuat
kita semakin sadar akan berkurangnya umur kita”, kata Ruri dengan senyum
manisnya.
“Tahun baru, akhlak baik
harus ditingkatkan..!”, sambung Meili dengan penuh semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar