Kartini
Saja Menulis, Mahasiswa?
Oleh Dias M.
21
April selalu menjadi hari Peringatan Kartini. Sosok perempuan asal Jepara ini
telah memberikan pengaruh besar kepada semua orang, terutama kaum hawa.
Berbagai acara seremonial untuk memperingati hari Kartini dilakukan setiap
tahun seperti berpakaian adat serentak atau dalam bentuk perlombaan, lomba
pidato, puisi, dan lainnya.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari perjuangan RA
Kartini. Di samping perjuangan keras untuk hidup bebas tanpa tekanan, sifat
Kartini yang rajin dalam tulis-menulis perlu kita garis bawahi.
Kartini merupakan perempuan pribumi yang beruntung. Ia
dapat mengenyam dan merasakan dunia sekolah, kendati hanya di Sekolah Rendah
Belanda pada tahun 1849. Lalu bagaimana ia berada di sekolah tersebut? Menurut literatur
yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya “Panggil Aku Kartini
Saja”, satu-satunya sekolah yang ada di Jepara itu menunjukkan diskriminasi.
Sebelum masuk kelas, semua murid dibariskan. Kemudian, mereka dipanggil satu
persatu berdasarkan golongannya.
Kartini selalu menuliskan keadaan dirinya dan
keluarganya, mulai dari peristiwa yang menyakitkan hingga yang menggelitik
hatinya. Inilah contoh surat yang ia tuliskan kepada sahabatnya, Estella
Zeehandelar, tanggal 6 November 1900:
Orang-orang
Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju,
kemudian
Mereka
mengambil sikap menantang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita
dahulu semasa ma-
Sih
kanak-kanak di sekolah; para guru kami dan banyak di antara kawan-kawa sekolah
kami mengambil si-
Kap
permusuhan terhadap kami. Tapi memang tidak semua guru dan murid membenci kami.
Banyak juga
Yang
mengenal dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murud-murid lain. Kebanyakan
guru itu tidak
rela
memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak
menerimanya.
Dalam
kesehariannya, Kartini selalu berpikiran aneh dan macam-macam. Ia memikirkan
hak dan kewajiban perempuan yang masih belum proporsional pada masanya. Bahkan
Kartini sempat merasakan kurungan yang luar biasa selama empat tahun. Tempat
itu justru membuatnya semakin mennggigit jari untuk memperjuangkan diri dan
rakyatnya dari tekanan adat istiadat yang berada di bawah kekuasaan penjajah
Belanda. Begitu banyak karya dimunculkan dari tangannya.
Kartini saja suka menulis. Bagaimana
dengan mahasiswa? Seharusnya mahasiswa mengembangkan bakat menulisnya. Salah
bila ada yang berkata, “Saya tidak punya bakat menulis”. Setiap orang telah
memiliki bakat dalam bidang apapun, namun hanya butuh improvisasi dari individu
itu sendiri.
Mahasiswa yang telah dicap sebagai
cikal bakal bangsa seharusnya mampu memberikan benih kehidupan bermakna bagi
bangsa dan negaranya. Bukan malah menjadi trouble
maker bagi lingkungan sekitarnya.
Ingat, kau adalah agent of change, mahasiswa! Mahasiswa
itu sebagai makhluk baru yang memberikan warna kehidupan lebih cerah. Menulis
adalah salah satu langkah konkrit memajukan sekaligus mencerdaskan bangsa.
Indonesia yang masih minim dengan karya tulis (jurnal) dapat berubah dan
mengejar ketinggalannya bila mahasiswa ikut produktif dalam hal penulisan.
Tulisan yang dipublikasikan akan dapat membantu banyak orang dalam mencari
literature dan bahan bacaan, sehingga bangsa ini menjadi cerdas.
Sulitkah menulis itu? Tidak. Menulis
itu akan mudah bila telah terbiasa melakukannya. Pada umumnya kesulitan dalam
penulisan adalah dalam pencarian ide atau gagasan. Menurut Rosyadi (2008),
pencarian ide itu dapat dilakukan dengan banyak membaca buku, memerhatikan
fenomena kehidupan, melakukan survey buku, mempelajari segmen pembaca, dan
mendiskusikan topik.
Kartini memulai menggoreskan tinta
dalam bentuk surat pendek mengenai pengalamannya, kemudian berlari hingga ke
surat panjang yang ditujukan kepada Nyonya Abbedon. Pelajaran darinya adalah
mulailah menulis dari hal yang sederhana. Kartini tidak pernah lupa dengan
sahabat setianya yang membuatnya bahagia di kala ayah dan abang ketiganya
sedang tidak ada di rumah, BUKU. Setiap selesai melaksanakan perintah abang
pertamanya yang galak, Kartini langsung memindahkan buku yang ada di meja
belajarnya ke pangkuannya. Membaca buku dapat menambah wawasan dan pengetahuan
serta mengubah cara berpikir menjadi realistis.
Mahasiswa bukanlah seorang siswa,
melainkan seorang yang telah memiliki given
status “Maha”, lebih dari siswa biasa. Bila kartini yang pada zamannya
banyak kesulitan dalam memperoleh pendidikan, namun ia dapat berpikir kritis
mengenai fenomena masyarakat sekitarnya,
kenapa mahasiswa sekarang tidak? Pendidikan mudah didapat saat ini, sehingga
menstimulasikan mahasiwa untuk terus berkarya demi bangsa. “Barangsiapa tidak
berani, dia tidak bakal menang. Itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai
dengan berani! Pemberani–pemberani telah memenangkan tiga perempat dunia!”
(Kartini via Pramoedya Ananta Toer).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar