Berawal dari perjalanan hidup seorang lelaki yang sedang mencari jati diri. Ia pergi ke sana kemari lantaran punya kesibukan di luar habitatnya. Mobilisasi yang kurang mensupport menjadi salah satu faktor ia menjadi ‘jarang’ bersatu lagi dengan kawanannya tatkala ia sedang ada agenda. Susah tuk kembali, susah tuk pergi.
Tak tahu, suatu hari ia tak terkendali. Pada suatu agenda, ia menuggu para juniornya yang belum juga tiba di saat waktu yang telah dijanjikan. Sampai waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB hanya 2 junior yang telah datang. Dengan rasa bersalah, ia (yang datang in time) ungkapkan kalimat apologies-nya hingga berujung pembicaraan usulan penggantian waktu pertemuan. Waktu telah memukul 20.15 WIB, tak terasa sekali larutnya. Ia putuskan segera kembali ke habitatnya karena janjinya hanya memakai ‘mobil’ hingga pukul 19.30 WIB. Hati yang masih berselimut kesal melihat perilaku juniornya.
Tiba di tempat asalnya, ia dipergoki pemilik ‘mobil’ yang telah jemu menunggu kedatangannya di teras samping. Menyesal dan malu, itulah rasa yang dirasakan sang pemuda. Karena merasa ada yang tertinggal dan ada seauatu yang harus dikerjakan di habitat teman, sang pemuda langsung minta pemilik ‘mobil’ tuk dia ikut.
Tujuan sang ‘empunya’ tak sesuai harapan karena tempat tujuan telah tertutup. Salah siapa? Si pemuda. Andai saja si pemuda itu datang TEPAT WAKTU, TIDAK INGKAR JANJI, ia akan selamat dan dapat mengerjakan tugasnya. Walhasil, ia kirimi si pemuda SMS yang berisi tidak lain peringatan agar tidak mengulangi lagi, janji haruslah ditepati. Karena ia punya tugas yang harus diselesaikan malam itu juga. Sebenarnya, dari SMS itu si pemuda berpikir, apakah ituu salah dia atau temannya (empunya ‘mobil’) ? bila tugas itu dikerjakan tidak in limited time, si pemuda kira tugas akan dapat diselesaikan dan dikumpulkan.
Satu kata yang pantas, "Jangan pernah menyalahkan orang lain, sebelum menyalahkan diri sendiri". Tapi juga salah si pemuda karena dia tidak bilang terlebih dahulu kalau ternyata tidak jadi pembicaranya. Dari kisah ini, saya coba mengggali mengapa ada istilah 'Merpati tak Pernah Ingkar Janji'.
1. Merpati adalah burung yang tidak pernah mendua hati. Coba perhatikan, apakah ada merpati yang suka berganti pasangan ? Jawabannya adalah TIDAK !! Pasangannya cukup 1 seumur hidupnya.
2. Merpati adalah burung yang tahu kemana dia harus pulang. Betapapun merpati terbang jauh, dia tidak pernah tersesat untuk pulang. Pernahkah ada merpati yang pulang ke rumah lain ? Jawabannya adalah TIDAK !!
3. Merpati adalah burung yang romantis. Coba perhatikan ketika sang jantan bertalu-talu memberikan pujian, sementara sang betina tertunduk malu. Pernahkah kita melihat mereka saling mencaci ? Jawabannya adalah TIDAK !!
4. Burung merpati tahu bagaimana pentingnya bekerja sama. Coba perhatikan ketika mereka bekerja sama membuat sarang. Sang jantan dan betina saling silih berganti membawa ranting untuk sarang anak-anak mereka. Apabila sang betina mengerami, sang jantan berjaga di luar kandang. Dan apabila sang betina kelelahan, sang jantan gantian mengerami. Pernahkah kita melihat mereka saling melempar pekerjaannya ? Jawabannya adalah TIDAK !!
5. Merpati adalah burung yang tidak mempunyai empedu, ia tidak menyimpan KEPAHITAN sehingga tidak menyimpan DENDAM !!
Kalau seekor burung merpati saja bisa melakukan hal-hal di atas, mengapa manusia tidak bisa ?? Hidup itu indah jika kita saling MENGERTI, BERBAGI, dan MENGHARGAI !! Mari kita sama-sama perbaiki diri untuk menuju BETTER.
blog ini berisi kumpulan karya dari penulis. Cerita fiksi dan non fiksi bergabung menjadi satu. Dapat juga dijadikan referensi bagi pembaca sekalian.
Jumat, 28 Desember 2012
Minggu, 04 November 2012
Renungan dan Motivasi (1)
Semua terjadi dengan izin-Nya dan pasti sarat dengan hikmah, penuh makna & ilmu bagi yang peka hati dan dapat mentafakurinya.
Bukan mencari rizki , melainkan menjemput rizki. Karena setiapa makhluk disiptakan lengkap dengan rizkinya, yang dicari keberkahannya.
Jalani saja hidup ini, hati harus ridlo dengan takdir apa pun, sambil terus tobat, jauhi maksiat, tingkatkan taat, pasti ada solusi.
Kamis, 05 Juli 2012
Review Film "Gifted Hands"
Nyonya Carson adalah seorang ibu
yang memiliki dua anak laki-laki. Mereka adalah Benjamin dan kakaknya, Curtin.
Dia berasal dari Boston. Dia memiliki tubuh berkulit coklat.
Semangatnya tak pernah henti
untuk membesarkan kedua anaknya. Ia melarang kedua anaknya untuk terlalu sering
nonton TV. Mengerjakan PR adalah pekerjaan wajib setiap pulang sekolah bagi
Bennie –panggilan dari Benjamin- dan Curtin. Tentu, semua itu dilakukan atas
sebuah dasar keinginan yang besar dan mulia dari seorang Mother. Adalah
menjadikan mereka pintar dan sukses dalam berkarier seperti ayah mereka dahulu.
“Kamu adalah anak pandai, tidak
bodoh. Kamu hanya belum memaksimalkan
talenta pada dirimu yang diberikan Tuhan”. Begitulah yang pernah dikatakn
Mother kepada Bennie ketika Bennie dan Curtin tidak yakin kalau sebenarnya
mereka bisa menjadi orang pandai.
Apa yang dikatakan Ibunya,
Bennie dan Curtin selalu menurutinya, tidak bisa membantahnya, meskipun dalam
hati kecil mereka merasa kesal dan merasa bahwa Ibunya adalah Ibu yang paling
kejam sedunia. Tapi, apa yang terjadi? Setelah menuruti apa kata Ibu, Bennie
mendapatkan nilai D untuk mata pelajaran berhitung (perkalian) – yang
sebelumnya ia selalu mendapatkan nilai F karena tidak dapat menjawab soal
satupun. Dalam film tersebut, tidak diceritakan mengenai prestasi Curtin di
sekolahnya.
Nilai
D bagi Benni adalah hal yang luar biasa dan terjadi peningkatan dalam
belajarnya. Ibunya menggucapkan selamat padanya dan berkata “Kamu sekarang
percaya bahwa kamu bisa melakukan yang baik. Kamu tidak bodoh. Kamu harus
belajar lebih keras lagi dan menghafalkan perkalian selama 2 minggu Ibu pergi”.
Mereka berkata tidak sanggup, namun tetap menuruti perkataan Ibunya.
Suatu
hari, nilai ujian pelajaran berhitung (perkalian) dibagikan. Sang guru bertanya
pada Bennie, “berapa jumlah jawaban benar milikmu?” dijawab oleh Bennie, “saya
tidak menyontek, bu.” “Saya tidak menanyakan hal itu. Saya hanya bertanya
berapa jumlah jawaban benar yang kamu dapatkan?” Kemudian dijawab Bennie dengan
agak tersendat, “Saya benar 24 dari 25”. “Wow, you have done better”.
Nilai
A muncul pada kertas milik Bennie karena benar 24 dari 25 soal. Ia begitu
senang dan ingin memberitahhukan hal ini kepada Suster scott. Sampai di rumah,
ia kaget bahwa yang berada di dapur adalah Ibunya yang baru saja pulang setelah
peergi setelah 2 minggu yang lalu. “Mom, I missed you. Look at! I got the A…!”
“Ya, saya percaya kamu dapat melakukan apa yang orang lain dapat lakukan?”
(bersambung….)
Artikel Bertema Kartini
Kartini
Saja Menulis, Mahasiswa?
Oleh Dias M.
21
April selalu menjadi hari Peringatan Kartini. Sosok perempuan asal Jepara ini
telah memberikan pengaruh besar kepada semua orang, terutama kaum hawa.
Berbagai acara seremonial untuk memperingati hari Kartini dilakukan setiap
tahun seperti berpakaian adat serentak atau dalam bentuk perlombaan, lomba
pidato, puisi, dan lainnya.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari perjuangan RA
Kartini. Di samping perjuangan keras untuk hidup bebas tanpa tekanan, sifat
Kartini yang rajin dalam tulis-menulis perlu kita garis bawahi.
Kartini merupakan perempuan pribumi yang beruntung. Ia
dapat mengenyam dan merasakan dunia sekolah, kendati hanya di Sekolah Rendah
Belanda pada tahun 1849. Lalu bagaimana ia berada di sekolah tersebut? Menurut literatur
yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya “Panggil Aku Kartini
Saja”, satu-satunya sekolah yang ada di Jepara itu menunjukkan diskriminasi.
Sebelum masuk kelas, semua murid dibariskan. Kemudian, mereka dipanggil satu
persatu berdasarkan golongannya.
Kartini selalu menuliskan keadaan dirinya dan
keluarganya, mulai dari peristiwa yang menyakitkan hingga yang menggelitik
hatinya. Inilah contoh surat yang ia tuliskan kepada sahabatnya, Estella
Zeehandelar, tanggal 6 November 1900:
Orang-orang
Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju,
kemudian
Mereka
mengambil sikap menantang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita
dahulu semasa ma-
Sih
kanak-kanak di sekolah; para guru kami dan banyak di antara kawan-kawa sekolah
kami mengambil si-
Kap
permusuhan terhadap kami. Tapi memang tidak semua guru dan murid membenci kami.
Banyak juga
Yang
mengenal dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murud-murid lain. Kebanyakan
guru itu tidak
rela
memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak
menerimanya.
Dalam
kesehariannya, Kartini selalu berpikiran aneh dan macam-macam. Ia memikirkan
hak dan kewajiban perempuan yang masih belum proporsional pada masanya. Bahkan
Kartini sempat merasakan kurungan yang luar biasa selama empat tahun. Tempat
itu justru membuatnya semakin mennggigit jari untuk memperjuangkan diri dan
rakyatnya dari tekanan adat istiadat yang berada di bawah kekuasaan penjajah
Belanda. Begitu banyak karya dimunculkan dari tangannya.
Kartini saja suka menulis. Bagaimana
dengan mahasiswa? Seharusnya mahasiswa mengembangkan bakat menulisnya. Salah
bila ada yang berkata, “Saya tidak punya bakat menulis”. Setiap orang telah
memiliki bakat dalam bidang apapun, namun hanya butuh improvisasi dari individu
itu sendiri.
Mahasiswa yang telah dicap sebagai
cikal bakal bangsa seharusnya mampu memberikan benih kehidupan bermakna bagi
bangsa dan negaranya. Bukan malah menjadi trouble
maker bagi lingkungan sekitarnya.
Ingat, kau adalah agent of change, mahasiswa! Mahasiswa
itu sebagai makhluk baru yang memberikan warna kehidupan lebih cerah. Menulis
adalah salah satu langkah konkrit memajukan sekaligus mencerdaskan bangsa.
Indonesia yang masih minim dengan karya tulis (jurnal) dapat berubah dan
mengejar ketinggalannya bila mahasiswa ikut produktif dalam hal penulisan.
Tulisan yang dipublikasikan akan dapat membantu banyak orang dalam mencari
literature dan bahan bacaan, sehingga bangsa ini menjadi cerdas.
Sulitkah menulis itu? Tidak. Menulis
itu akan mudah bila telah terbiasa melakukannya. Pada umumnya kesulitan dalam
penulisan adalah dalam pencarian ide atau gagasan. Menurut Rosyadi (2008),
pencarian ide itu dapat dilakukan dengan banyak membaca buku, memerhatikan
fenomena kehidupan, melakukan survey buku, mempelajari segmen pembaca, dan
mendiskusikan topik.
Kartini memulai menggoreskan tinta
dalam bentuk surat pendek mengenai pengalamannya, kemudian berlari hingga ke
surat panjang yang ditujukan kepada Nyonya Abbedon. Pelajaran darinya adalah
mulailah menulis dari hal yang sederhana. Kartini tidak pernah lupa dengan
sahabat setianya yang membuatnya bahagia di kala ayah dan abang ketiganya
sedang tidak ada di rumah, BUKU. Setiap selesai melaksanakan perintah abang
pertamanya yang galak, Kartini langsung memindahkan buku yang ada di meja
belajarnya ke pangkuannya. Membaca buku dapat menambah wawasan dan pengetahuan
serta mengubah cara berpikir menjadi realistis.
Mahasiswa bukanlah seorang siswa,
melainkan seorang yang telah memiliki given
status “Maha”, lebih dari siswa biasa. Bila kartini yang pada zamannya
banyak kesulitan dalam memperoleh pendidikan, namun ia dapat berpikir kritis
mengenai fenomena masyarakat sekitarnya,
kenapa mahasiswa sekarang tidak? Pendidikan mudah didapat saat ini, sehingga
menstimulasikan mahasiwa untuk terus berkarya demi bangsa. “Barangsiapa tidak
berani, dia tidak bakal menang. Itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai
dengan berani! Pemberani–pemberani telah memenangkan tiga perempat dunia!”
(Kartini via Pramoedya Ananta Toer).
Minggu, 24 Juni 2012
Al-Farabi dalam Dunia Pendidikan sebagai Model Karakter*
“Pendidikan itu apa yang kita dengar,
apa yang kita lihat,
dan apa yang kita rasakan”.
Adalah perkataan yang diungkapkan oleh Kiai Rais selaku Direktur Pondok Madani dalam cerita novel Negeri 5 Menara. Kata-kata itu dikeluarkankannya saat acara malam pembukaan tahun ajaran santri baru.
Pendidikan (tarbiyyah) adalah tranfer sebuah nilai dan pengetahuan, sejauh yang penulis ketahui. Nah, di sini Penulis membagikan sebuah pengetahuan yang diperoleh dari Diskusi Ilmiah kecil bulanan yang diadakan oleh IMMAN (Ikatan Mutakharijin MAN) Jogjakarta di UIN SUKA (11/3). Tema yang diangkat adalah “Perspektif Al-Farabi dalam pendidikan”.
Abu Nasr Muhammad Ibn al-Farakh al-Farabi atau dikenal dengan al-Farabi. Ia lahir pada tahun 257 H atau 870 M. Perlu diketahui bahwa asal-muasal mengenai al-Farabi muncul dengan berbagai versi karena ia tidak tidak menulis biografinya sendiri. Sejak belia, al-Farabi sudah dikenal berotak encer. Ia berbakat menguasai hampir setiap objek yang diipelajarinya. Tak heran bila ketika dewasa al-Farabi sempat menjadi seorang qadhi (hakim). Setelah berhenti dari jabatannya, ia memutuskan hijrah ke Merv guna mendalami ilmu logika Aristotelian dan filsafat. Guru utamanya adalah Ibn Hailan, seorang Kristiani. Memang kata khalifah Ali ibn Thalib, “undzur mā qāla, wala tandzur man qāla”. Berikan perhatian pada apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Mencari ilmu tidak kenal agama, golongan ataupun usia.
Al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles telah berkontribusi banyak untuk Islam. Kontribusinya terletak di berbagai bidang, seperti matematika, filsafat, pengobatan, bahkan music. Namun bukan itu semua yang dibahas. Adalah pendidikan yang merupakan salah satu kontribusinya yang semestinya diterapkan oleh bangsa Muslim.
Dalam kaca mata al-Farabi, pendidikan adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi tempat tinggalnya yang masih peduli dengan hal-hal mistis dan yang selalu menghindarkan aspek pengetahuan akal budi. Di sini budaya Islam sangat kental mempengaruhi. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negerinya, ia mencetuskan sustu ide tenatang pendidikan yang didasarkan pada teori filsafat Plato dan Aristoteles.
Pemikiran al-Farabi tentang pendidikan didasarkan pada filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Tujuan pendidikan-dalam perspektif al-Farabi- adalah untuk mencapai kesempurnaan (al-kamāl) dan kebahagiaan (al-saādah). Sehingga pendidikan itu dilakukan untuk mempersiapkan manusia sebagai tokoh yang siap terjun ke masyarakat. Menurutnya, persiapan tersebut dimulai dari sejak kecil sehingga dewasa nanti seorang pelajar atau pedidik akan mempunyai tabiat baik terutama dalam meraih kesempurnaan dan juga tujuan-tujuan yang telah dirancangnya. Proses pendidikan seperti ini penting bagi jiwa manusia, menurut al-Farabi. Karena keseluruhan aktivitasnya merupakan proses pencapaian nilai-nilai , pengetahuan intelektual, dan keterampilan praktis, yang kemudian diimprovisasikan ke arah tujuannya yakni membawa manusia pada sebuah kesempurnaan.
Kesempurnaan manusia (kamālu al—nās), menurut al-Farabi, adalah proses akhir dalam meraih nilai-nilai teoritis atau pengetahuan intelaktual dan nilai-nilai praktis atau tingkah laku yang moralis. Dengan adanya usaha (kasab) pencapaian kedua hal tersebut, individu akan dapat masuk ke ranah masyarakat dan diakui menjadi anggota masyarakat tersebut. Individu yang kental dengan sifat ini akan dapat menjadi teladan yang kemudian menjadi seorang pemipin. Pendidikan semacam ini juga menyangkut moral dan estetika. Hasil yang dicapai adalah satu yaitu kebahagiaan (saādah) dan kebaikan (fadlīlah). Kesempurnaan teoritis dan praktis di sini diraih di dalam masyarakat karena pemahaman kebebasan manusia ini adalah setelah berada di lingkungan masyarakat. Individu memang tidak pernah berdiri sendiri melainkan mengandalkan bimbingan orang lain.
Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran al-Farabi tercipta dengan mengacu pada tujuan itu sendiri, yaitu untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Tujuan ini dicapai bukan untuk mencukupi kebutuhan pribadi semata melainkan agar terciptanya masyarakat yang Islami. Metodenya terkenal dengan metode instruktif yang menurut Penulis patut ditiru oleh orang-orang Islam, termasuk di Indonesia.
Metode instruksi yang memiliki dua aspek yaitu model audisi dan model imitasi. Model audisi didasarkan pada kemampuan anak didik dalam berbicara yang disertai dengan pemahaman akan realitas atau dapat disebut dengan sikap kritis. Sementara model imitasi mengarahkan anak didik untuk meniru hal-hal baik dari orang lain dengan mengamati gerak-geriknya terlebih dahulu. Hal ini untuk mengembangkan sikap berbakti. Untuk meraih kesempurnaaan dan metode yang dibuatnya, al-Farabi sangat menekankan pada kebiasaan yang dapat terekam kuat dalam pikiran. Dalam hal ini, seni kebiasaan yang dikembangkan adalah kemampuan berbicara yang persuasive, afektif, dan reflektif. Sesuai dengan ungkapan bijak yang di awal bahwa pendidikan itu dapat diperoleh dari proses melihat, mendengarkan, dan merasakan sesuatu. Bahkan al-Farabi merekomendasikan menusia mengggunankan observasi visual dalam pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran yang menjadi makna suatu pembelajaran.
Pada proses pemahaman, al-Farabi mengatakan bahwa seorang anak didik terlebih dahulu diajak untuk mendefinisikan apa yang ditangkapnya, kemudian menjelaskan dengan seksama sesuatu tersebut dengan menggunakan ilustrasi atau semacamnya. Pencapaian pada makna pembelajaran maksimal dilakukan dengan system yang ketat dan berat serta diimbangi dengan rekreasi yang mendukung- seperti permainan atau penceritaan kisah-kisah menarik- agar anak didik tidak kelelahan, kejenuhan, atau putus asa dalam belajar.
Dalam filsafat pendidikan al-Farabi, anak didik pun diberikan dihukuman apabila melakukan penyimpangan dengan maksud suatu ketika ia akan mengerti makna pembelajaran yang diberikannya. Seorang guru (mudarris)-menurutnya tidak boleh terlalu keras ataupun terlalu lembut. Karena bila terlalu keras, anak didiknya akan memusuhinya dan jika terlalu lembut maaka anak didiknya akan menjadi pemalas dan mereka tidak akan menaruh perhatian pada pelajaran seorang guru. Konsep moderatlah yang ditanamkan. Karena khoirul umūri ausathuhā. Sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah. Namun tetap ada penanaman kedisiplinan pada anak didik yang membutuhkan ketegasan mudarris.
Setelah mendalami dan memahami filsafat al-Farabi ternyata ia adalah orang cemerlang. Dalam pengertian, meskipun penekanan pendidikannya adalah akal budi, tetapi keindahan filsafatnya dikembangkan bersama moralitas dan iman. Pengetahuan tidak dapat berdiri begitu saja tanpa moralitas dan keimanan. Oleh karena itu, Penulis mengingatkan pada kita semua untuk bersyukur dengan wujud memanfaatkan semua indera sebaik-baiknya untuk mencari ilmu yang akhirnya berimplikasi pada al-saādah di dunia dan di akhirat serta al-kamāl. Al-Farabi dengan semangatnya menjadikannya ahli dalam berbagai bidang, agama (al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh), aritmatika dasar, farmasi, filsafat, sosiologi, music, dan pendidikan. Kita pun dapat menirunya hanya dengan syarat yakin dan semangat tinggi (ghirah). Semoga! Rabbanā zidnā ‘ilman nāfi’an war zuqnā fahman wāsi’an, birahmatika yā arhamar rāhimīn.
Ahmad Sa’id
Ahmad Sa’id
Staf Divisi Humed 2011-2012
Jama’ah al-Ghurobā’ FMIPA UII
*) versi Inggris artikel ini telah dipublikasikan dalam buletin al-Marjan Ponpes UII, dapat pula dilihat di pesantren.uii.ac.id
Langganan:
Postingan (Atom)