Laman

Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 14 Desember 2016

Satu Hari Serasa Satu Jam



Sore ini, kulihat seorang pemuda di depan perpustakaan kampus. Baru saja dia duduk dan menjadikan kursi sebagai sandaran punggungnya yang nampak berat. Namun, mengapa wajahnya sekejap berubah masam. Padahal sedari jauh ia berjalan dengan wajah tersenyum seperti biasanya yang mengiringi paras tubuh mungilnya.

Ah, It is not my business, bukan urusanku sih. Tapi, hati ini tak bisa dibohongi ingin menyapanya dan mencari tahu masalahnya. Tapi, itu tak semudah 'googling' untuk mencari bahan jawaban PR kuliah. Kulihat saja dia dari jauh. Dia membuka tasnya dan meraih laptop putih ASUS nya yang tersembunyi. Sudah kuduga, dia ingin menulis. Sepertinya jari-jarinya sudah terasa gatal-gatal, akibat unreachable syndrome in writing. Yup, seperti diriku yang butuh hiburan dalam tulisan.

Kata demi kata telah tertata dalam barisan yang membentuk paragraf. Kutengok isinya, oh... dia meluapkan kejenuhannya dalam kata-kata.

"Sudah berapa hari ini aku sering sekali menempel di meja belajar kamarku lebih dari 24 jam perhari. Tapi juga tak lupa lepaskan diri dari kursi untuk sekedar sholat, makan, minum, dan ke kamar mandi. Walau hati tak bisa dibohongi, lagi-lagi, tapi badanku masih memaksakan diri. Mataku hampir kering karena di depan komputer tanpa converter radiasi. Perut ini tak terasa lapar walau tak makan seharian. Kujajakan kedua tanganku, kutali pikiranku pada lembaran-lembaran kertas saja. Sesekali kualihkan jariku pada layar komputer untuk 'googling' referensi bacaan. Terdengar dering nada dari telpon genggamku, namun kuhiraukan hingga kutemukan space pada pikiranku.

Aku terbangun dengan saat alarm subuh memanggilku. Lalu bangkitlah tubuhku menuju kamar mandi dan hingga akhirnya bersujud kepada Tuhanku. Meja belajar dan buku kuliah yang kutinggalkan di atasnya menggodaku seakan ingin ditemani setiap saat. Tak terasa dzuhur tiba, aku hanya dapat meraih 5 nomor saja dari ratusan soal yang ada. Perut tak peduli pada diriku yng sudah kelaparan, namun badan ini menjajah untuk kerja rodi seharian hingga mission complete! Kau tahu? Hingga waktu menunjukkan pukul 02.00 badanku masih tertanam rapi di meja dengan mata yang belum terbenam. Tak cukup sehari saja, hari esok pun berlanjut hingga datang hari berikutnya seperti satu jam saja berlewat. Baiklah, kutekadkan dengan bulan bahwa hari ini harus kuakhiri perjuanganku yang konyol seperti ini. Aku harus selesai dan ingin berjumpa dengan kawan-kawan di luar sana.

Hari keempat, datanglah dengan keadaan seperti biasanya. Dzuhur tiba dan nasi belum menjumpai mulutku. Dalam hati, besyukur karena tersisa 5 nomor saja dari sekian ratus soal yang telah datang menghampiriku. Oke, ini hanya soal-soal mudah, aku pasti selesai saat Ashar tiba. Kau tahu? Setelah 3 jam berlalu melewati waktu dzuhur, aku sudah beres menuliskan jawaban dari soal pamungkas. Lalu, kurapikan lembaran-lembaran jawaban yang telah kusimpan dalam satu wadah untuk ku-submit segera. Oh, aku harus pergi hari ini ke kampus untuk submit PR ku. Bahagia tak terkira bak narapidana yang keluar dari sel.

Ingin kuucapkan terima kasih pada Tuhan atas segala karunia-Nya hingga aku berhasil lengkap pada satu misiku. Walau aku harus sedih-tertawa karena masih punya misi lain yang harus kulengkapi dalam waktu kurang dari 1 minggu saja. Terima kasih untuk dirimu yang telah toleran dan perhatian atas keadaanku selama ini."

Luar biasa, dia sedang dalam kondisi berbahagia menyelesaikan misi-misinya. Yang kutahu dan kutangkap darinya, dia tak patah semangat untuk kejar impiannya walapun memulai segalanya dari nol dan jatuh terbangun selalu. Tak lelah untuk menghilangkan pahitnya kebodohan.
"Jika kamu tak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup merasakan perihnya kebodohan"-Imam Syafi'i dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i.

Hatyai, Thailand, 14 Desember 2016.