“Pendidikan itu apa yang kita dengar,
apa yang kita lihat,
dan apa yang kita rasakan”.
Adalah perkataan yang diungkapkan oleh Kiai Rais selaku Direktur Pondok Madani dalam cerita novel Negeri 5 Menara. Kata-kata itu dikeluarkankannya saat acara malam pembukaan tahun ajaran santri baru.
Pendidikan (tarbiyyah) adalah tranfer sebuah nilai dan pengetahuan, sejauh yang penulis ketahui. Nah, di sini Penulis membagikan sebuah pengetahuan yang diperoleh dari Diskusi Ilmiah kecil bulanan yang diadakan oleh IMMAN (Ikatan Mutakharijin MAN) Jogjakarta di UIN SUKA (11/3). Tema yang diangkat adalah “Perspektif Al-Farabi dalam pendidikan”.
Abu Nasr Muhammad Ibn al-Farakh al-Farabi atau dikenal dengan al-Farabi. Ia lahir pada tahun 257 H atau 870 M. Perlu diketahui bahwa asal-muasal mengenai al-Farabi muncul dengan berbagai versi karena ia tidak tidak menulis biografinya sendiri. Sejak belia, al-Farabi sudah dikenal berotak encer. Ia berbakat menguasai hampir setiap objek yang diipelajarinya. Tak heran bila ketika dewasa al-Farabi sempat menjadi seorang qadhi (hakim). Setelah berhenti dari jabatannya, ia memutuskan hijrah ke Merv guna mendalami ilmu logika Aristotelian dan filsafat. Guru utamanya adalah Ibn Hailan, seorang Kristiani. Memang kata khalifah Ali ibn Thalib, “undzur mā qāla, wala tandzur man qāla”. Berikan perhatian pada apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Mencari ilmu tidak kenal agama, golongan ataupun usia.
Al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles telah berkontribusi banyak untuk Islam. Kontribusinya terletak di berbagai bidang, seperti matematika, filsafat, pengobatan, bahkan music. Namun bukan itu semua yang dibahas. Adalah pendidikan yang merupakan salah satu kontribusinya yang semestinya diterapkan oleh bangsa Muslim.
Dalam kaca mata al-Farabi, pendidikan adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi tempat tinggalnya yang masih peduli dengan hal-hal mistis dan yang selalu menghindarkan aspek pengetahuan akal budi. Di sini budaya Islam sangat kental mempengaruhi. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negerinya, ia mencetuskan sustu ide tenatang pendidikan yang didasarkan pada teori filsafat Plato dan Aristoteles.
Pemikiran al-Farabi tentang pendidikan didasarkan pada filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Tujuan pendidikan-dalam perspektif al-Farabi- adalah untuk mencapai kesempurnaan (al-kamāl) dan kebahagiaan (al-saādah). Sehingga pendidikan itu dilakukan untuk mempersiapkan manusia sebagai tokoh yang siap terjun ke masyarakat. Menurutnya, persiapan tersebut dimulai dari sejak kecil sehingga dewasa nanti seorang pelajar atau pedidik akan mempunyai tabiat baik terutama dalam meraih kesempurnaan dan juga tujuan-tujuan yang telah dirancangnya. Proses pendidikan seperti ini penting bagi jiwa manusia, menurut al-Farabi. Karena keseluruhan aktivitasnya merupakan proses pencapaian nilai-nilai , pengetahuan intelektual, dan keterampilan praktis, yang kemudian diimprovisasikan ke arah tujuannya yakni membawa manusia pada sebuah kesempurnaan.
Kesempurnaan manusia (kamālu al—nās), menurut al-Farabi, adalah proses akhir dalam meraih nilai-nilai teoritis atau pengetahuan intelaktual dan nilai-nilai praktis atau tingkah laku yang moralis. Dengan adanya usaha (kasab) pencapaian kedua hal tersebut, individu akan dapat masuk ke ranah masyarakat dan diakui menjadi anggota masyarakat tersebut. Individu yang kental dengan sifat ini akan dapat menjadi teladan yang kemudian menjadi seorang pemipin. Pendidikan semacam ini juga menyangkut moral dan estetika. Hasil yang dicapai adalah satu yaitu kebahagiaan (saādah) dan kebaikan (fadlīlah). Kesempurnaan teoritis dan praktis di sini diraih di dalam masyarakat karena pemahaman kebebasan manusia ini adalah setelah berada di lingkungan masyarakat. Individu memang tidak pernah berdiri sendiri melainkan mengandalkan bimbingan orang lain.
Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran al-Farabi tercipta dengan mengacu pada tujuan itu sendiri, yaitu untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Tujuan ini dicapai bukan untuk mencukupi kebutuhan pribadi semata melainkan agar terciptanya masyarakat yang Islami. Metodenya terkenal dengan metode instruktif yang menurut Penulis patut ditiru oleh orang-orang Islam, termasuk di Indonesia.
Metode instruksi yang memiliki dua aspek yaitu model audisi dan model imitasi. Model audisi didasarkan pada kemampuan anak didik dalam berbicara yang disertai dengan pemahaman akan realitas atau dapat disebut dengan sikap kritis. Sementara model imitasi mengarahkan anak didik untuk meniru hal-hal baik dari orang lain dengan mengamati gerak-geriknya terlebih dahulu. Hal ini untuk mengembangkan sikap berbakti. Untuk meraih kesempurnaaan dan metode yang dibuatnya, al-Farabi sangat menekankan pada kebiasaan yang dapat terekam kuat dalam pikiran. Dalam hal ini, seni kebiasaan yang dikembangkan adalah kemampuan berbicara yang persuasive, afektif, dan reflektif. Sesuai dengan ungkapan bijak yang di awal bahwa pendidikan itu dapat diperoleh dari proses melihat, mendengarkan, dan merasakan sesuatu. Bahkan al-Farabi merekomendasikan menusia mengggunankan observasi visual dalam pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran yang menjadi makna suatu pembelajaran.
Pada proses pemahaman, al-Farabi mengatakan bahwa seorang anak didik terlebih dahulu diajak untuk mendefinisikan apa yang ditangkapnya, kemudian menjelaskan dengan seksama sesuatu tersebut dengan menggunakan ilustrasi atau semacamnya. Pencapaian pada makna pembelajaran maksimal dilakukan dengan system yang ketat dan berat serta diimbangi dengan rekreasi yang mendukung- seperti permainan atau penceritaan kisah-kisah menarik- agar anak didik tidak kelelahan, kejenuhan, atau putus asa dalam belajar.
Dalam filsafat pendidikan al-Farabi, anak didik pun diberikan dihukuman apabila melakukan penyimpangan dengan maksud suatu ketika ia akan mengerti makna pembelajaran yang diberikannya. Seorang guru (mudarris)-menurutnya tidak boleh terlalu keras ataupun terlalu lembut. Karena bila terlalu keras, anak didiknya akan memusuhinya dan jika terlalu lembut maaka anak didiknya akan menjadi pemalas dan mereka tidak akan menaruh perhatian pada pelajaran seorang guru. Konsep moderatlah yang ditanamkan. Karena khoirul umūri ausathuhā. Sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah. Namun tetap ada penanaman kedisiplinan pada anak didik yang membutuhkan ketegasan mudarris.
Setelah mendalami dan memahami filsafat al-Farabi ternyata ia adalah orang cemerlang. Dalam pengertian, meskipun penekanan pendidikannya adalah akal budi, tetapi keindahan filsafatnya dikembangkan bersama moralitas dan iman. Pengetahuan tidak dapat berdiri begitu saja tanpa moralitas dan keimanan. Oleh karena itu, Penulis mengingatkan pada kita semua untuk bersyukur dengan wujud memanfaatkan semua indera sebaik-baiknya untuk mencari ilmu yang akhirnya berimplikasi pada al-saādah di dunia dan di akhirat serta al-kamāl. Al-Farabi dengan semangatnya menjadikannya ahli dalam berbagai bidang, agama (al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh), aritmatika dasar, farmasi, filsafat, sosiologi, music, dan pendidikan. Kita pun dapat menirunya hanya dengan syarat yakin dan semangat tinggi (ghirah). Semoga! Rabbanā zidnā ‘ilman nāfi’an war zuqnā fahman wāsi’an, birahmatika yā arhamar rāhimīn.
Ahmad Sa’id
Ahmad Sa’id
Staf Divisi Humed 2011-2012
Jama’ah al-Ghurobā’ FMIPA UII
*) versi Inggris artikel ini telah dipublikasikan dalam buletin al-Marjan Ponpes UII, dapat pula dilihat di pesantren.uii.ac.id